Pendidikan karakter yang didengung-dengungkan oleh pemerintah sejak
beberapa tahun kebelakangan ini sejatinya adalah harapan yang diimpikan
oleh siapapun juga warga nusantara.
Sejak Ki Hajar Dewantoro
bahkan tokoh-tokoh kemerdekaan sebelum beliau, sampai Founding Father
bangsa Indonesia Sukarno yang mencanangkan Nation and Character
Building, sehinggalah pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudoyono yang
ingin melihat dan membuktikan klaim bahwa kita adalah bangsa yang
mendaku (Mendakwa dan mengaku): Bangsa yang beragama, sopan santun,
ramah tamah, tekun, berbudi dan berbudaya adi luhung.
Bangsa
Indonesia yang kita harapkan bersama, bukanlah bangsa yang angkuh,
kasar, nggak jelas (random), biadab, tak berbudi dan tak berbudaya
(uncivilized), maupun sebutan-sebutan lain yang semakna dengan itu.
Kita
bangga bahwa Nusantara sudah dikenal oleh bangsa-bangsa lain di dunia
sejak berabad-abad lamanya sejak mereka menyebut Srivijaya dan Swarna
Dwipa, maupun Majapahit dan Jawa Dwipa, nenek moyang kita dahulu
meninggalkan kepada kita warisan-warisan yang luhur sehingga
bangsa-bangsa mengenalnya sampai sekarang.
Sejak dulu pula bangsa
kita dikenal karena karakter dan sifat serta kepribadiannya, persis
seperti yang dikatakan oleh penyair terkenal Mesir Ahmad Syauqi dalam
bait syairnya: Sesungguhnya keberadaan suatu bangsa (dikenal oleh
bangsa-bangsa lain) ditentukan oleh karakter/akhlaknya, jika
karakter/akhlaknya hilang, maka lenyaplah keberadaan bangsa tersebut.
Pertanyaannya,
bagaimanakah kalau kita melihat yang ada dilapangan adalah berbeda dan
sudah berubah dari kondisi ideal bangsa kita ? Penulis cenderung melihat
bahwa ini adalah gejala menyimpang (anomaly) dari hasil pendidikan yang
kita lakukan dan kita harapkan selama ini.
Pendidikan di
Indonesia pada umumnya lebih menghasilkan kepada output yang sekuler
materialistis dibandingkan dengan output yang berkarakter/berakhlak
mulia.
Oleh karenanya pencanangan pendidikan karakter yang
digagas dan dibangkitkan kembali oleh pemerintah sudah sepatutnya kita
sebagai warga pendidik maupun warga masyarakat secara umum wajib untuk
mendukung dan mensukseskannya.
Lebih-lebih momentum itu bertepatan dengan semangat hari pendidikan nasional yang sedang kita peringati sekarang-sekarang ini.
Sumber Pendidikan Karakter
Banyak
yang mengatakan sebenarnya muatan utama dalam pendidikan karakter
adalah sama ketika kita menyebutnya dengan berbagai macam variasi
sebutan, diantaranya: etika, moral dan susila.
Padahal kalau kita
mau menelusuri dan mencari sumbernya, ternyata akan berbeda. Dan
penulis lebih suka untuk memilih akhlak sebagai padanan untuk pendidikan
karakter yang kita inginkan dalam wacana dunia pendidikan kita.
Secara
ringkas bisa dijelaskan, pengertian Etika; berasal dari Yunani: Ilmu
yang mengajarkan tentang baik dan buruk tentang adat kebiasaan dan
tingkah laku manusia. Moral;berasal dari bahasa Latin:Tentang kebiasaan
adat istiadat dan tingkah laku manusia yang baik dan buruk.
Susila;
berasal dari bahasa Sansekerta: Su artinya baik dan Sila artinya
prinsip, dasar atau aturan, yaitu; Kehidupan manusia yang sesuai dengan
norma aturan yang baik. Intinya dari ketiga istilah tersebut, muaranya
adalah kepada kebiasaan adat istiadat dan tingkah laku manusia yang baik
atau buruk.
Agak sedikit berbeda dengan akhlak yang bersumber
dari Islam dan Arab. Ibnu Maskawaih dalam Tahdzibul Akhlak
mendefinisikan akhlak: Keadaan jiwa yang mengajak seseorang kepada suatu
perbuatan tanpa adanya pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.
Hampir
sama dengan pengertian yang diberikan oleh al-Ghozali dalam Ihya'
Ulumuddinnya, yang mengatakan: Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa seseorang yang menimbulkan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
proses pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.
Dari
pengertian diatas ada sedikit perbedaan, kalau etika, moral dan susila
diberikan definisinya dengan perkataan baik atau buruk, sedangkan dalam
pengertian akhlak, Ibnu Maskawaih dan al-Ghozali tidak mencantumkan baik
dan buruk, tapi sebaliknya lebih menjelaskan kepada sifat atau
kepribadian.
Bagi penulis, perbedaan ini disebabkan karena
sumbernya yang berbeda. Kelompok etika, moral dan susila menekankan
pengertiannya dengan baik dan buruk, karena menurut falsafah mereka,
sesuatu yang disebut baik atau buruk itu sumber penilainnya adalah
manusia, akal, hati dan masyarakat (tradisi kebiasaan).
Jadi,
tidak universal dan tidak ada kepastian apakah itu baik atau buruk. Bisa
jadi di Eropa sesuatu perilaku dinilai baik, belum tentu di Asia
perilaku itu baik, tergantung manusia dan bahkan kepentingannya. Contoh
mudahnya, mungkin baik bagi Amerika membombardir Iraq atau Afghanistan,
bagi bangsa-bangsa yang lain belum tentu baik.
Lain halnya dengan
akhlak, yang didefinisikan cenderung kepada sifat, perangai atau
kepribadian. Ini mendekati kepada pengertian karakter yaitu jati diri
seseorang sebagaimana yang diberikan oleh suparlan (www.suparlan.com)
ketika mengutip makna karakter dari (www.educationplanner.org):
character is the sum of all the qualities that make you who you are.
Tidak disebutkannya dalam pengertian itu baik dan buruk, karena akhlak sumber nilainnya jelas dan universal.
Dalam
khazanah ajaran Agama Islam, penilaian baik buruk itu sumbernya adalah
al-Quran dan al-Hadits, Allah Tuhan yang menciptakan manusia dan
Rosulullah Muhammad SAW manusia pilihan yang Akhlaknya dipuji oleh
Allah:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak (berkarakter)
mulia nan agung. (QS al-Qalam:4), serta manusia yang diutus untuk
mendidik akhlak manusia sebagaimana bunyi hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhari: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan (mendidik) akhlak
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar