Sabtu,
25 April 2009 keluarga besar Sosiologi antropologi khususnya semester 6 melakukan
studi lapangan ke Yogyakarta. Studi lapangan ini dilakukan berkaitan dengan
mata kuliah bentang sosial budaya, religi dan etika jawa dan struktur
masyarakat jawa. Ada tiga obyek yang dituju yaitu Kraton Yogyakarta, Panggung
Krapyak dan Makam Imogiri. Dalam pemaparan saya kali ini, saya lebih memfokuskan
pada mata kuliah struktur masyarakat jawa. Dimana saya akan mengamati bangunan
kraton yogyakarta sebagai manifestasi dari kebudayaan jawa.
Orang jawa dalam kehidupan
sehari-harinya penuh dengan simbol-simbol. Simbol tersebut dapat berupa tanda,
warna, bangunan dan lain sebagainya. Bangunan kraton merupakan salah satu
simbol kebudayaan jawa. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah makna
simbolik dari bangunan kraton Yogyakrata? dan apakah ada hubungan antara makna
simbolik bangunan kraton dengan stuktur sosial di kraton Yogyakarta?
Kraton Yogyakarta dibangun oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono 1 pada tahun 1756. Karaton, Keraton atau Kraton, berasal dari kata
ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal ratu/raja. Sedang arti lebih luas,
diuraikan secara sederhana, bahwa seluruh struktur dan bangunan wilayah Kraton
mengandung arti berkaitan dengan pandangan hidup Jawa yang essensial, yakni
Sangkan Paraning Dumadi (dari mana asalnya manusia dan kemana akhirnya manusia
setelah mati).Garis besarnya, wilayah Kraton memanjang 5 km ke arah selatan
hingga Krapyak dan 2 km ke utara berakhir di Tugu. Pada garis ini terdapat
garis linier dualisme terbalik, sehingga bisa dibaca secara simbolik filosofis.
Dari arah selatan ke utara, sebagai lahirnya manusia dari tempat tinggi ke alam
fana, dan sebaliknya sebagai proses kembalinya manusia ke sisi Dumadi (Tuhan
dalam pandangan Jawa). Sedangkan Kraton sebagai jasmani dengan raja sebagai
lambang jiwa sejati yang hadir ke dalam badan jasmani. Kraton Yogyakarta
mempunyai peranan yang sangat penting sebagai faktor penentu dalam dinamika
kehidupan masyarakat Yogyakarta. Kraton Yogyakarta menghadap ke arah Utara,
pada arah poros Utara Selatan antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, dengan
halaman depan berupa Alun-alun (lapangan) yang dimasa lalu dipergunakan sebagai
tempat mengumpulkan rakyat, latihan perang bagi para prajurit, dan tempat
penyelenggaraan upacara adat. Di bagian tengah alun-alun lor terdapat dua pohon
beringin yang dikelilingi tembok, yang disebut beringin kurung (waringin
kurung). Dua pohon beringin yang terletak bersebelahan itu, masing-masing
bernama kyai Dewadaru (sebelah barat), bibitnya berasal dari Majapahit dan kyai
Wijayadaru (sebelah timur) yang bibitnya berasal dari Pajajaran. Dua pohon
beringin itu sebgai simbol bahwa didunia ini terdapat dua sifat berbeda yang
saling bertentangan (dualisme). Sedangkan pohon beringin yang mengelilingi
alun-alun lor ini jumlahnya 62 pohon, serta ditambah dengan 2 beringin yang
berada ditengah, sehingga jumlah seluruhnya menjadi 64 pohon beringin. Jumlah
64 menunjukkan usia nabi Muhammad SAW ketika beliau wafat (menurut perhitungan
tahun jawa). Sistem klasifikasi simbolik orang jawa didasarkan pada dua, tiga,
lima, dan Sembilan kategori. System yang didasarkan pada dua kategori dikaitkan oleh orang-orang
jawa dengan hal-hal yang berlawanan,yang bermusuhan atau yang saling
butuh-membutuhkan dan teutama didasarkan pada perbedaan antara orang serta
hal-hal yang tinggi (inggil) dan yang rendah kedudukannya (andhap), perbedaan
antara orang dan hal-hal yang asing, jauh, formal (tebih), serta yang biasa,
dekat dan informal (celak); perbedaan antara orang dan hal-hal yang berada di
sebelah kanan (panengan) dengan yang ada di sebelah kiri (pangiwa); perbedaan
antara orang dan hal-hal yang suci dan profan;dan akhirnya perbedaan antara
orang dan hal-hal yang halus(alus) dan yang kasar
Deskripsi diatas menjelaskan bahwa bangunan kraton
mempunyai arti tersendiri yang menggambarkan adanya struktur sosial dikraton.
Untuk memahami lebih dalam tentang struktur sosial yang terdapat dikraton Yogyakarta,
ada beberapa istilah yang menyertainya diantaranya yaitu, system sosial,
stratifikasi sosial, kelas sosial,dan struktur
sosial.
Sistem sosial adalah suatu jaringan dimana
bagian-bagian/elemen-elemen jaringan tersebut saling pengaruh mempengaruhi
secara deterministik.” Keharmonisan
dalam sistem sosial didasarkan pada pranata sosial, sistem yang mengatur
interaksi yang mengintergrasikan pola perilaku dan komunikasi agar masyarakat
dapat hidup tentram dan harmonis. Dalam
masyarakat Jawa sistem sosial dapat dilihat dari pembagian stratifikasi sosial
dan pola sikap anggota masyarakat.
Stratifikasi sosial adalah penggolongan anggota masyarakat
ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada karakteristik tertentu. Menurut Max
Weber, stratifikasi sosial didasarkan pada dimensi ekonomi, sosial dan politik.
Maka dari itu masyarakat terbagi menjadi kelas (secara ekonomi), kelompok
status (sosial) dan partai (politik). Weber juga menambahkan bahwa dimensi
ekonomi adalah dimensi penentu bagi dimensi lainnya.
Pengertian kelas adalah kesetaraan kemampuan ekonomi
orang-orang dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup dan statusnya.
Semakin tinggi kemampuan ekonomi suatu kelas untuk memiliki jasa, benda dan
lain-lain berarti semakin tinggi kelasnya dalam masyarakat. Kelas menengah ke
bawah memiliki kemampuan ekonomi yang terbatas untuk mendapatkan kemewahan
selayaknya kelas atas. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat terbagi dalam
tingkatan-tingkatan social.
Struktur Sosial, struktur yang mewarnai suatu
masyarakat tradisional berintikan kekerabatan, kesukuan, atau keagamaan.
Struktur yang bersifat primordial itu tertutup bagi yang lain di luar
hubungan-hubungan itu dan tidak bersifat sukarela. Dalam masyarakat
modern,struktur sosial bersifat terbuka dan bersifat sukarela. Jadi, yang
berkembang dan menjadi tiang-tiang masyarakat adalah organisasi politik,
organisasi ekonomi, organisasi sosial, termasuk organisasi profesional dan
fungsional.
Talcot Parson menilai struktur sebagai
kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem social. Pembahasan mengenai
struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan
peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran
adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton, seseorang menjalankan
peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya.
Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi
status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved
status).
Status yang diperoleh adalah status yang diberikan
kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang
dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status
yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada
individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha
pribadi.
Yogyakarta
sebagai daerah istimewa yang dulunya merupakan suatu wilayah kerajaan yang
kemudian masuk dan menyatu dalam kesatuan wilayah RI, seperti wilayah kerajaan
pada umumnya, kerajaan yogyakarta atau yang umumnya disebut kasultanan
yogyakarta dipimpim oleh seorang raja yang disebut dengan gelarnya adalah SRI
SULTAN HAMANGKUBUWONO.
Dalam struktur social dalam wilayah kerajaan tentu
saja Raja menempati tingkatan tertinggi dalam struktur social masyarakatnya,
begitulah struktur social yang ada di yogyakarta SRI SULTAN HAMANGKUBUWONO menempati
posisi tertinggi sebagai orang yang berkuasa dan paling di hormati di
yogyakarta. Gelar Sri Sultan HB merupakan gelar yang diperoleh (ascribed
status) secara turun temurun. Untuk
gelar yang berada dibawahnya ditempai oleh orang- orang yang ada di dalam birokrasi
pemerintah kerajaan seperti patih dan mereka yang masuk dalam tatanan
kasultanan serta mereka yang masih kerabat Raja serta abdidalem. Warga kraton
sangat menghormati dan menghargai raja mereka. Mereka sangat mengagungkan raja
mereka dalam segala hal. Mereka tidak berani untuk menantang raja mereka,
bahkan untuk sekedar menatap mata atau berpandangan langsung dengan raja mereka
anggap itu adalah hal yang sangat tidak pantas dilakukan karena itu berarti
mereka menantang raja mereka. Bila mereka akan menghadap raja mereka, dilakukan
dengan laku ndodok. Dalam lingkungan kraton pakaian yang mereka kenakan juga
sesuai dengan tingkatannya, kemudian ada sebagian dari para abdi dalem yang
tidak memakai alas kaki, karena menurut mitos bahwa pasir yang ada dalam
lingkunan kraton adalah pasir dari pantai selatan yang merupakan istana dari
kanjeng ratu Nyi loro kidul, sehingga untuk menghormati keberadaannya maka
mereka tidak memakai als kaki bila berjalan di atas pasir tersebut. Laku ndodok
ini tidak hanya dilakukan jika mereka menghadap langsung kepada raja mereka,
hal ini juga mereka lakukan bila mereka menghadap atau berziarah ke makam-makam
para raja yang telah mangkat terlebih dahulu. Hal itu mereka lakukan karena
mereka sangat menghormati raja mereka. Kemudian selain tempat itu mungkin ada
lagi tempat-tempat yang lain. Tapi setahu saya keraton juga merupakan tempat
yang sangat disakralkan oleh masyarakat Yogyakarta, bagi para abdi dalem
menghormati keraton sama halnya dengan menghormati raja mereka.
Para abdi dalem
merupakan orang-orang yang mengabdi pada raja Yogyakarta dan keraton. Dari
sekilas wawancara dengan salah satu abdi dalem, beliau menyebut bahwa ada
struktur para abdi dalem yaitu:
1.
Magang
2.
Jajar
3.
Lurah
4.
Bekel
Selain para abdi dalem ada juga para prajurit yaitu:
1.
Prajurit Wirobrojo
2.
Prajurit Ketanggung
3.
Prajurit Patang puluh
4.
Prajurit Gaeng
5.
Prajurit Bugis
6.
Prajurit Mantri Anom
7.
Prajurit Surokarso
8.
Prajurit Nyotro
9.
Prajurit Njogokaryo
10. Prajurit
Prawitokarso
Prajurit keraton yang dahulu benar-benar berfungsi
sebagai militer, penjaga keamanan dan keselamatan nagari. Seiring perputaran
jaman, kini lebih berperan sebagai ‘pelengkap’ ritus adat tradisi peristiwa
budaya yang terjadi di dalam keraton itu sendiri. Seperti sebagai anggota
marching band dalam upacara dalam keraton.
Di keraton itu
sendiri terdapat tempat-tempat yang mungkin juga dapat dijadikan sebagai tolok
ukur bahwa di dalam keraton ada stratifikasi berdasarkan jabatan yang di
pegang, misalnya:
1.
Bangsal Pekapalan yaitu
tempat bermalam senopati perang.
2.
Bangsal Pemandengan
adalah tempat duduk raja ketika ada upacara gladi bersih di alun-alun.
3.
Bangsal Palikeran
adalah bangsal para abdi dalem.
4.
Bangsal Kori adalah tempat untuk berjaga dan mernagkap juga tempat para
abdi dalem.
Seperti halnya
bahasa jawa umumnya, bahasa yang digunakan dalam kehidupan di keraton juga
terdapat stratifikasinya yang terdiri dari bahasa krama ingil, krama madya,
krama alus, ngoko alus, ngoko madya, ngoko biasa. Menurut sepengetahuan saya
penggunaan bahasa tersebut antara lain, bahasa krama inggil dipakai oleh para
bawahan kepada raja, kemudian krama madya adalah oleh sesama kerabat kerajaaan,
krama alus oleh sesama pejabat kerajaan.
Inti dari struktur masyarakat di Kraton Yogyakarta
adalah Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai pemimpin di dalam keraton Yogyakarta
dan juga sebagi pemimpin atau Sultan di Keraton Yogyakarta. Kraton Yogyakarta
memanglah bangunan tua, pernah rusak dan dipugar. Dilihat sekilas seperti bangunan
Kraton umumnya. Namun jika kita dapat mengamatinya dengan seksama terdapat
makna simbolis, sebuah filosofi kehidupan, hakikat seorang manusia, bagaimana
alam bekerja dan manusia menjalani hidupnya dan berbagai perlambangan
eksistensi kehidupan terpendam di dalamnya.
That's Good mr. lutfi ... !!!
BalasHapusbeside that I would like to share about kitchen. Kitchens über really did provide me with a top class service. I would recommend them to anyone. ok that's All Lutfi I hope my info useful for .
steveanli
[URL=http://www.kitchensuber.co.uk]Kitchens Uber[/URL]