Senin, 24 September 2012

SIMBOLISME BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA


Sabtu, 25 April 2009 keluarga besar Sosiologi antropologi khususnya semester 6 melakukan studi lapangan ke Yogyakarta. Studi lapangan ini dilakukan berkaitan dengan mata kuliah bentang sosial budaya, religi dan etika jawa dan struktur masyarakat jawa. Ada tiga obyek yang dituju yaitu Kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak dan Makam Imogiri. Dalam pemaparan saya kali ini, saya lebih memfokuskan pada mata kuliah struktur masyarakat jawa. Dimana saya akan mengamati bangunan kraton yogyakarta sebagai manifestasi dari kebudayaan jawa.
            Orang jawa dalam kehidupan sehari-harinya penuh dengan simbol-simbol. Simbol tersebut dapat berupa tanda, warna, bangunan dan lain sebagainya. Bangunan kraton merupakan salah satu simbol kebudayaan jawa. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah makna simbolik dari bangunan kraton Yogyakrata? dan apakah ada hubungan antara makna simbolik bangunan kraton dengan stuktur sosial di kraton Yogyakarta?
Kraton Yogyakarta dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono 1 pada tahun 1756. Karaton, Keraton atau Kraton, berasal dari kata ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal ratu/raja. Sedang arti lebih luas, diuraikan secara sederhana, bahwa seluruh struktur dan bangunan wilayah Kraton mengandung arti berkaitan dengan pandangan hidup Jawa yang essensial, yakni Sangkan Paraning Dumadi (dari mana asalnya manusia dan kemana akhirnya manusia setelah mati).Garis besarnya, wilayah Kraton memanjang 5 km ke arah selatan hingga Krapyak dan 2 km ke utara berakhir di Tugu. Pada garis ini terdapat garis linier dualisme terbalik, sehingga bisa dibaca secara simbolik filosofis. Dari arah selatan ke utara, sebagai lahirnya manusia dari tempat tinggi ke alam fana, dan sebaliknya sebagai proses kembalinya manusia ke sisi Dumadi (Tuhan dalam pandangan Jawa). Sedangkan Kraton sebagai jasmani dengan raja sebagai lambang jiwa sejati yang hadir ke dalam badan jasmani. Kraton Yogyakarta mempunyai peranan yang sangat penting sebagai faktor penentu dalam dinamika kehidupan masyarakat Yogyakarta. Kraton Yogyakarta menghadap ke arah Utara, pada arah poros Utara Selatan antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, dengan halaman depan berupa Alun-alun (lapangan) yang dimasa lalu dipergunakan sebagai tempat mengumpulkan rakyat, latihan perang bagi para prajurit, dan tempat penyelenggaraan upacara adat. Di bagian tengah alun-alun lor terdapat dua pohon beringin yang dikelilingi tembok, yang disebut beringin kurung (waringin kurung). Dua pohon beringin yang terletak bersebelahan itu, masing-masing bernama kyai Dewadaru (sebelah barat), bibitnya berasal dari Majapahit dan kyai Wijayadaru (sebelah timur) yang bibitnya berasal dari Pajajaran. Dua pohon beringin itu sebgai simbol bahwa didunia ini terdapat dua sifat berbeda yang saling bertentangan (dualisme). Sedangkan pohon beringin yang mengelilingi alun-alun lor ini jumlahnya 62 pohon, serta ditambah dengan 2 beringin yang berada ditengah, sehingga jumlah seluruhnya menjadi 64 pohon beringin. Jumlah 64 menunjukkan usia nabi Muhammad SAW ketika beliau wafat (menurut perhitungan tahun jawa). Sistem klasifikasi simbolik orang jawa didasarkan pada dua, tiga, lima, dan Sembilan kategori. System yang didasarkan  pada dua kategori dikaitkan oleh orang-orang jawa dengan hal-hal yang berlawanan,yang bermusuhan atau yang saling butuh-membutuhkan dan teutama didasarkan pada perbedaan antara orang serta hal-hal yang tinggi (inggil) dan yang rendah kedudukannya (andhap), perbedaan antara orang dan hal-hal yang asing, jauh, formal (tebih), serta yang biasa, dekat dan informal (celak); perbedaan antara orang dan hal-hal yang berada di sebelah kanan (panengan) dengan yang ada di sebelah kiri (pangiwa); perbedaan antara orang dan hal-hal yang suci dan profan;dan akhirnya perbedaan antara orang dan hal-hal yang halus(alus) dan yang kasar
Deskripsi diatas menjelaskan bahwa bangunan kraton mempunyai arti tersendiri yang menggambarkan adanya struktur sosial dikraton. Untuk memahami lebih dalam tentang struktur sosial yang terdapat dikraton Yogyakarta, ada beberapa istilah yang menyertainya diantaranya yaitu, system sosial, stratifikasi sosial, kelas sosial,dan  struktur sosial.
Sistem sosial adalah suatu jaringan dimana bagian-bagian/elemen-elemen jaringan tersebut saling pengaruh mempengaruhi secara deterministik.”  Keharmonisan dalam sistem sosial didasarkan pada pranata sosial, sistem yang mengatur interaksi yang mengintergrasikan pola perilaku dan komunikasi agar masyarakat dapat hidup tentram dan harmonis.  Dalam masyarakat Jawa sistem sosial dapat dilihat dari pembagian stratifikasi sosial dan pola sikap anggota masyarakat.
Stratifikasi sosial adalah penggolongan anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada karakteristik tertentu. Menurut Max Weber, stratifikasi sosial didasarkan pada dimensi ekonomi, sosial dan politik. Maka dari itu masyarakat terbagi menjadi kelas (secara ekonomi), kelompok status (sosial) dan partai (politik). Weber juga menambahkan bahwa dimensi ekonomi adalah dimensi penentu bagi dimensi lainnya.
Pengertian kelas adalah kesetaraan kemampuan ekonomi orang-orang dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup dan statusnya. Semakin tinggi kemampuan ekonomi suatu kelas untuk memiliki jasa, benda dan lain-lain berarti semakin tinggi kelasnya dalam masyarakat. Kelas menengah ke bawah memiliki kemampuan ekonomi yang terbatas untuk mendapatkan kemewahan selayaknya kelas atas. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat terbagi dalam tingkatan-tingkatan social.
Struktur Sosial, struktur yang mewarnai suatu masyarakat tradisional berintikan kekerabatan, kesukuan, atau keagamaan. Struktur yang bersifat primordial itu tertutup bagi yang lain di luar hubungan-hubungan itu dan tidak bersifat sukarela. Dalam masyarakat modern,struktur sosial bersifat terbuka dan bersifat sukarela. Jadi, yang berkembang dan menjadi tiang-tiang masyarakat adalah organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial, termasuk organisasi profesional dan fungsional.
Talcot Parson menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem social. Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton, seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).
Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.
 Yogyakarta sebagai daerah istimewa yang dulunya merupakan suatu wilayah kerajaan yang kemudian masuk dan menyatu dalam kesatuan wilayah RI, seperti wilayah kerajaan pada umumnya, kerajaan yogyakarta atau yang umumnya disebut kasultanan yogyakarta dipimpim oleh seorang raja yang disebut dengan gelarnya adalah SRI SULTAN HAMANGKUBUWONO.
Dalam struktur social dalam wilayah kerajaan tentu saja Raja menempati tingkatan tertinggi dalam struktur social masyarakatnya, begitulah struktur social yang ada di yogyakarta SRI SULTAN HAMANGKUBUWONO menempati posisi tertinggi sebagai orang yang berkuasa dan paling di hormati di yogyakarta. Gelar Sri Sultan HB merupakan gelar yang diperoleh (ascribed status) secara turun temurun.  Untuk gelar yang berada dibawahnya ditempai oleh orang- orang yang ada di dalam birokrasi pemerintah kerajaan seperti patih dan mereka yang masuk dalam tatanan kasultanan serta mereka yang masih kerabat Raja serta abdidalem. Warga kraton sangat menghormati dan menghargai raja mereka. Mereka sangat mengagungkan raja mereka dalam segala hal. Mereka tidak berani untuk menantang raja mereka, bahkan untuk sekedar menatap mata atau berpandangan langsung dengan raja mereka anggap itu adalah hal yang sangat tidak pantas dilakukan karena itu berarti mereka menantang raja mereka. Bila mereka akan menghadap raja mereka, dilakukan dengan laku ndodok. Dalam lingkungan kraton pakaian yang mereka kenakan juga sesuai dengan tingkatannya, kemudian ada sebagian dari para abdi dalem yang tidak memakai alas kaki, karena menurut mitos bahwa pasir yang ada dalam lingkunan kraton adalah pasir dari pantai selatan yang merupakan istana dari kanjeng ratu Nyi loro kidul, sehingga untuk menghormati keberadaannya maka mereka tidak memakai als kaki bila berjalan di atas pasir tersebut. Laku ndodok ini tidak hanya dilakukan jika mereka menghadap langsung kepada raja mereka, hal ini juga mereka lakukan bila mereka menghadap atau berziarah ke makam-makam para raja yang telah mangkat terlebih dahulu. Hal itu mereka lakukan karena mereka sangat menghormati raja mereka. Kemudian selain tempat itu mungkin ada lagi tempat-tempat yang lain. Tapi setahu saya keraton juga merupakan tempat yang sangat disakralkan oleh masyarakat Yogyakarta, bagi para abdi dalem menghormati keraton sama halnya dengan menghormati raja mereka.
Para abdi dalem merupakan orang-orang yang mengabdi pada raja Yogyakarta dan keraton. Dari sekilas wawancara dengan salah satu abdi dalem, beliau menyebut bahwa ada struktur para abdi dalem yaitu:
1.      Magang
2.      Jajar
3.      Lurah
4.      Bekel
Selain para abdi dalem ada juga para prajurit  yaitu:
1.      Prajurit Wirobrojo
2.      Prajurit Ketanggung
3.      Prajurit Patang puluh
4.      Prajurit Gaeng
5.      Prajurit Bugis
6.      Prajurit Mantri Anom
7.      Prajurit Surokarso
8.      Prajurit Nyotro
9.      Prajurit Njogokaryo
10.  Prajurit Prawitokarso
Prajurit keraton yang dahulu benar-benar berfungsi sebagai militer, penjaga keamanan dan keselamatan nagari. Seiring perputaran jaman, kini lebih berperan sebagai ‘pelengkap’ ritus adat tradisi peristiwa budaya yang terjadi di dalam keraton itu sendiri. Seperti sebagai anggota marching band dalam upacara dalam keraton.
Di keraton itu sendiri terdapat tempat-tempat yang mungkin juga dapat dijadikan sebagai tolok ukur bahwa di dalam keraton ada stratifikasi berdasarkan jabatan yang di pegang, misalnya:
1.      Bangsal Pekapalan yaitu tempat bermalam senopati perang.
2.      Bangsal Pemandengan adalah tempat duduk raja ketika ada upacara gladi bersih di alun-alun.
3.      Bangsal Palikeran adalah bangsal para abdi dalem.
4.  Bangsal Kori adalah tempat untuk berjaga dan mernagkap juga tempat para  
     abdi dalem.
Seperti halnya bahasa jawa umumnya, bahasa yang digunakan dalam kehidupan di keraton juga terdapat stratifikasinya yang terdiri dari bahasa krama ingil, krama madya, krama alus, ngoko alus, ngoko madya, ngoko biasa. Menurut sepengetahuan saya penggunaan bahasa tersebut antara lain, bahasa krama inggil dipakai oleh para bawahan kepada raja, kemudian krama madya adalah oleh sesama kerabat kerajaaan, krama alus oleh sesama pejabat kerajaan.
Inti dari struktur masyarakat di Kraton Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai pemimpin di dalam keraton Yogyakarta dan juga sebagi pemimpin atau Sultan di Keraton Yogyakarta. Kraton Yogyakarta memanglah bangunan tua, pernah rusak dan dipugar. Dilihat sekilas seperti bangunan Kraton umumnya. Namun jika kita dapat mengamatinya dengan seksama terdapat makna simbolis, sebuah filosofi kehidupan, hakikat seorang manusia, bagaimana alam bekerja dan manusia menjalani hidupnya dan berbagai perlambangan eksistensi kehidupan terpendam di dalamnya.

1 komentar:

  1. That's Good mr. lutfi ... !!!
    beside that I would like to share about kitchen. Kitchens über really did provide me with a top class service. I would recommend them to anyone. ok that's All Lutfi I hope my info useful for .


    steveanli
    [URL=http://www.kitchensuber.co.uk]Kitchens Uber[/URL]

    BalasHapus