Senin, 24 September 2012

SIKAP POLITIK KAUM SANTRI NU (Nahdlatul Ulama)


A. LATAR BELAKANG 
Pasca-Reformasi 1998, muncul suatu optimisme baru di kalangan umat Islam akan tampilnya kembali “Islam-politik” dalam percaturan politik di Indonesia setelah sekian lama semenjak Demokrasi Terpimpin Sukarno dan Orde Baru Suharto dibungkam. Berbagai kebijakan memarjinalkan posisi umat dalam ranah politik. Kalaupun diakomodasi melalui partai resmi (Orde Baru: PPP), posisinya tidak lebih hanya sebagai pelengkap kekuasaan. Kontrol yang kuat terhadap partai Islam ini seungguhnya tetap menyisakan marjinalisasi massal terhadap potensi dan kekuatan politik umat.
Kran kebebasan yang dibuka begitu leluasa pasca-Reformasi telah membukakan jalan lebar bagi kembalinya umat Islam mengaktualisasikan potensi politiknya. Berbagai partai yang dengan terang-terangan menyebut diri sebagai “partai Islam” atau mengambil basis massa kelompok-kelompok Islam seperti Muhammadiyah (PAN) dan Nahdhatul Ulama (PKB) bermunculan. Fenomena itu terus berlangsung sampai menjelang Pemilu ke-3 pasca-Reformasi yang digelar tahun 2009 ini.
Setelah kran itu dibuka bagaimana wajah politik Islam saat ini? Apakah tradisi-tradisi politik Islam yang terepresentasikan pada tahun 1955 terulang kembali, semakin menguat atau semakin menurun?. Secara dukungan suara, Anis Baswedan dalam disertasinya menyimpulkan bahwa dukungan suara terhadap partai Islam pada Pemilu 1999 dan 2004 tidak banyak berubah dengan dukungan pada Pemilu 1955. Akumulasi dukungan terhadap partai-partai Islam tetap tidak mengungguli dukungan terhadap partai-partai berhaluan sekular.
Namun demikian, secara kualitatif kemunculan partai-partai Islam pasca-reformasi ini sebagian besar tidak lagi membawa agenda ideologis yang terang-terangan seperti pada Pemilu 1955. Hanya sebagian kecil partai Islam seperti Partai Bulan Bintang (PBB) yang masih ‘menjual’ kampanye Masyumi masa lalu untuk ditawarkan kepada pemilih Muslim masa kini. Pada kenyataannya, sebagian besar pemilih Muslim baru ini sudah tidak legi merespon isu-isu politik Islam lama. Ini menunjukkan sudah terjadi pergeseran pemikiran dari pemilih. Partai-partai Islam pun kemudian sebagian besar mengubah kembali paradigma ‘jualan’ mereka dengan mengadaptasi isu-isu sezaman seperti masalah kesejahteraan rakyat, pengangguran, sembako murah, pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan sebagaianya. Tampaknya isu-isu idoelogis yang sangat laku pada era kampanye Pemilu tahun 1955 telah mulai dihindari. Selain sudah tidak kontekstual, juga sebagian besar pemilih Muslim sudah tidak menyenanginya.
Selain faktor isu dalam pemilihan, perubahan kualitatif partai-partai Islam baru ini terlihat pula dalam sikap atau perilaku politik mereka. Selain penyebutan asas Islam secara eksplisit di dalam konstitusi partai-partai Islam dan dukungan riil dari kelompok pemilih Muslim, sikap atau perilaku dan budaya politik partai-partai Islam hampir tidak dapat dibedakan dengan partai-partai lain yang tidak secara eksplisit menyebut diri mereka sebagai partai Islam. Dari sisi eksponennya pun tidak sedikit aktivis partai berhaluan nasionalis dan sekular seperti Golkar dan PDI yang berasal dari keluarga Muslim taat (baca: santri).
Kebudayaan merupakan keseluruhan ide, gagasan, tindakan dan hasil karya yang dimiliki oleh masyarakat yang diperoleh melaui belajar dan dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat (Koentjaraningrat, 1999:156). Salah satu wujud kebudayaan adalah sikap atau perilaku atau tindakan (sistem social)
Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktivitas, peristiwa dan orang lain. Perasaan ini menjadi konsep yang merepresentasikan suka atau tidak sukanya (positif, negatif, atau netral) seseorang pada sesuatu. Sikap dapat mengalami perubahan sebagai akibat dari pengalaman. Tesser (1993) berargumen bahwa faktor bawaan dapat mempengaruhi sikap tapi secara tidak langsung. Sebagai contoh, bila seseorang terlahir dengan kecenderungan menjadi ekstrovert, maka sikapnya terhadap suatu jenis musik akan terpengaruhi. Sikap seseorang juga dapat berubah akibat bujukan. Hal ini bisa terlihat saat iklan atau kampanye mempengaruhi seseorang (wikipediaindonesia)
Dengan banyak bermunculnya partai politik yang mengusung isu-isu agama, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dan isu-isu lain seiring dengan perkembangan zaman guna merebut simpati atau dukungan masyarakat akan menimbulkan keresahan dan kebimbangan khususnya bagi para santri NU (Nahdlatul Ulama).
B. PERMASALAHAN
Dari latar belakang diatas, dapat ditarik suatu permasalahan yaitu :
1.  Bagaimanakah sikap atau perilaku politik santri NU (Nahdlatul Ulama)

C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Santri
Tidak bisa dipungkiri bahwa penyebutan “santri” sebagai suatu unit analisis sosial sangat dipengaruhi oleh publikasi penelitian Clifford Geertz tentang komunitas Islam di suatu kota yang ia sebut dengan “Mojokuto.” Publikasi ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan titel Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa dari judul aslinya The Religion of Java
Sebelumnya, istilah santri ini lebih populer disematkan kepada para pelajar Muslim yang menempuh pendidikan di “pesantren”. Di pesantren mereka secara khusus ditempa untuk menjadi ahli-ahli agama. Saat mereka berhasil menyelesaikan pendidikannya dan mendirikan kembali pesantren atau mengajarkannya kembali kepada masyarakat luas, sebutan untuk mereka berubah menjadi “kyai”. Alhasil istilah “santri” pada mulanya digunakan untuk membedakannya dengan “kyai” di suatu pesantren atau pusat pengajaran agama tradisional masyarakat Jawa.
Menurut Geertz, ada ciri khusus dari santri pertama berkenaan dengan doktrin pokok Islam (Al-Quran dan hadis) dan kedua berkenaan dengan persepsi tentang organisasi sosial (dalam konteks apa mereka menempatkan diri). Dalam hal pertama, doktrin ajaran Islam adalah pegangan pokok yang harus mereka jalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam hal kedua,i organisasi sosial mereka persepsikan iman yang membentuk suatu perkauman (Islam). Sebagai individu Muslim, ia merupakan bagian dari umat Islam di mana pun mereka berada.
Secara lebih singkat dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok “santri” adalah mereka yang menjalankan ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin Islam secara lebih ketat dan taat. Pada Pemilu 1955, secara kasar dapat dilihat bahwa kelompok santri inilah yang menjadi pendukung setia partai-partai Islam seperti Masyumi dan NU.
2. Dasar pemikiran Politik NU
Dasar pemikiran politik NU terutama dipengaruhi oleh paham keagamaan yang dianutnya, yakni ahlussunnah wal jamaah. Disamping itu pemikiran politik kalangan ahlussunnah wal jamaah (Sunni) yang tergabung dalam wadah organisasi NU juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali, yang telah dijabarkan dalam teori politik Sunni yang terdapat lima prinsip yaitu :
1. Prinsip Ketuhanan
Prinsip ketuhanan dalam kehidupan politik merupakan suatu yang mutlak bagi NU. Dalam bentuk praksisnya, NU tidak membatasi format perwujudan prinsip ketuhanan tersebut dalam bentuk pemerintahan atau Negara secra khusus. Bentuk Negara bagi NU, tidak harus berupa kerajaan Islam, atau yang lainnya, yang penting dalam perjalanan perjalanan Negara haruslah mencerminkan substansi ajaran Islam. Maksudnya adalah bagaimana nilai-nilai universal dari ajaran Islam seperti keadilan, kemakmuran, kejujujran, maupun kebebasan dalam menjalankan ibadah dan ritual keagamaan dapat berjalan dengan baik.
2. Prinsip Musyawarah
Teori politik Sunni yang membahas tentang mekanisme pemerintahan sangat mengedepankan tentang prinsip musyawarah (al-syura). Misalnya ketika berbicara mengenai pergantian kepemimpinan, maka yang menjadi dasar paling utama adalah peran rakyat atau ahl syura, walaupun beberapa teori dalam teori politik Sunni ada yang mengesahkan penunjukan putera mahkota (ahl’Ahd)
Dalam Muktamar NU ke 30 di Kediri tahun1999, didefinisikan tentang prinsip musyawarah sebagai pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan dalam urusan bersama, baik secara langsung maupun perwakilan. Berdasarkan definisi tersebut dapat dilihat bahwa NU memegang prinsip bahwa dalam setiap pengambilan keputusan harus melibatkan seluruh unsure yang ada dalam masyarakat, baik itu dilakukan secara langsung maupun perwakilan.
c. Prinsip Keadilan
Rais Am PBNU, DR.KH.M.A. Sahal Mahfudh mendefinisikan keadilan berarti menegakkan kebenaran dan kejujuran, serta belas kasih dan solidaritas. Menurut Kiai sahal, keadilan mempunyai mempunyai abstraksi yang sangat luas, sehingga sering terjadi perbedaan ukuran antara pemimpin dan yang dipimpin dalam memandang tentang keadilan. Pemimpin berpandanagan bahwakebijakan yang telah diambil telah memenuhi kaidah keadilan, sedangkan yang dipimpin menganggap kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya belum adil. Dalam hal ini mekanisme musyawarah, dialog yang demokratis dan terbuka antara keduanya merupakan salah satu cara untuk mencari penyelesaian, dengan berpedoman pada standarisasi keadilan yang telah disepakati dan ditetapkan Undang-Undang.
d. Prinsip Kebebasan
Prinsip kebebasan bagi NU diartikan sebagai suatu jaminan bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya dengan cara yang baik, bertanggung jawab dan perilaku yang mulia (al-akhlaq al-karimah).
e. Prinsip Kesetaraan
 NU memiliki pandangan yang inklusif dan substantive terhadap realitas masyarakat Indonesia yang plural. Bagi NU, keragaman suku, ras, agama, budaya maupun perbedaan pendapat dan golongan merupakan suatu keniscayaan. Pluralitas dalam kehidupan di dunia merupakan rahmat yang harus dihadapi dengan sikap membuka diri, saling menghormati dan menjalin kerja sama dengan menghilangkan sikap eksklusif.
Prinsip kesetaraan menurut NU adalah suatu pandangan bahwa setiap orang atau individu mempunyai kedudukan yang sama tanpa adanya diskriminasi karena kesukuan, ras, agama, jenis kelamin, kedudukan, kelas social, dan lain-lain (Setiawan, 2007:105)
3. Politik yang dijalankan NU
Menurut Mustasyar PBNU, K.H.Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik dalam pemahaman NU, yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. NU sejak berdiri memang melakukan aktivitas politik, terutama dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan, karena NU sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam sejarah perjalanan Indonesia tercatat bahwa NU selalu memperjuangkan keutuhan NKRI. Selain dilandasi oleh nilai-nilai keislaman, kebijakan-kebijakan yang diambil NU juga didasari oleh nilai-nilai keIndonesiaan dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Politik jenis yang kedua yang dijalankan oleh NU yaitu politik kerakyatan. Politik kerakyatan bagi NU sebenarnya adalah implementasi dari prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kejelekan) yang ditujukan pada penguasa untuk membela rakyat. Hal itulah yang kemudian diambil alih oleh generasi muda NU melalui LSM-LSM, ketika mereka melihat NU secara structural kurang peduli terhadap permasalahan yang menyangkut rakyat keci.
NU juga menjalankan politik ketiga, yakni politik kekuasaan atau yang lazim disebut politik praktis. Politik kekuasaan merupakan jenis politik yang paling banyak menarik perhatian orang NU. Dalam catatan sejarah, terlihat bahwa NU pernah mendapatkan kesuksesan dalam pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955. Pada saat itu, dalam waktu persiapan yang relative pendek, partai NU yang baru keluar dari Masyumi dapat menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi yang sangat siap waktu itu. Sejak saat itu banyak tokoh NU yang terjun ke dunia politik praktis. Hal ini membawa dampak negative pada aktivitas penting NU lainnya seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, social, dan dakwah.
 
4. Sikap Politik Kaum Santri
Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik.
Pada masa kolonial, kelompok santri berperan sebagai trigger unntuk menggalang kekuatan massa menentang penguasaan kolonial. Berbagai pemberontakan, terutama sepanjang abad ke-19, yang terjadi di berbagai daerah konsolidasi kekuatannya dilakukan oleh kelompok santri. Dalam hal ini, peran tokoh pemimpin kelompok ini yang sering disebut “kyai” sangat sentral. Budaya ketaatan penuh pada kyai yang dibangun di pesantren-pesantren atau yang dilembagakan dalam tarekat-tarekat sufi memberikan jalan mulus bagi peran kepemimpinan kyai dalam kelompok ini. Beberapa pemberontakan seperti yang terjadi di Banten tahun 1881, Perang Paderi di Sumatera Barat, Perang Diponegoro tahun 1825-1830, dan sebagainya adalah perang-perang yang mencatat peran penting kelompok ini.
Pada masa Kebangkitan Nasional paruh pertama abad ke-20 kelompok ini bertransformasi menjadi organisasi-organisasi keagamaan. Sebagian masih melanggengkan pengaruh dan kepemimpinan kyai seperti yang terlihat dalam organisasi Nahdhatul Ulama. Sebagian lain kepemimpinannya mulai mencair pada model kepemimpinan rasional. Tokoh tercipta karena peran-peran startegisnya bagi pergerakan, bukan karena legitimasi tradisionalnya sebagai kiai. Model kedua ini terlihat jelas pada Muhammadiyah. Para pengamat kemudian mendikotomi kedua varian ini sebagai kelompok modernis (Muhammadiyah) dan tradisional (NU).
Saat pembentukan PPKI dan BPUPKI sebagai cikal bakal berdirinya Republik Indonesia, representasi kaum santri yang mewakili semua kalangan, baik kelompok modernis maupun tradisionalis, terlihat cukup dominan di samping kelompok-kelompok lain yang sering disebut sebagai kaum nasionalis atau “kebangsaan”. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 menjadi tonggak arah dan orientasi baru kelompok santri. Kali ini mereka ikut menjadi penentu perjelanan politik bangsa ini. Perdebatan-perdebatan di Konstituante menjadi monumen sejarah yang mengabadikan peran penting kaum santri dalam merancang bangsa ini ke depan.
Walaupun peran kelompok santri ini cukup penting di dalam perumusan format kenegaraan Indonesia pada masa awal kemerdekaan, posisi marginal masih tetap dirasakan kelompok ini. Pasalnya, saat berbicara masalah politik pemerintahan, sangat sedikit kalangan santri yang menguasai penyelenggaraan birokrasi model Barat. Kebutuhan akan dukungan kelas menengah teknokrat bagi terselenggaranya berbagai program dan target pemerintah membuat posisi kelompok santri semakin menciut. Kelompok santri yang sebagian besar berlatar pendidikan keagamaan tradisional (baca: pesantren) tidak bisa berbuat apa-apa ketika ditantang harus menyelenggarakan pemerintahan secara profesional. Inilah yang menjadi penyebab utama posisi politik kaum santri kembali termarginalkan, padahal sebelumnya secara politik mereka sudah memberikan saham besar bagi berdirinya negara ini.
.
 

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
Koentaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi  II. Jakarta : UI Press.
Setiawan Zudi. 2007. Nasionalisme NU. Semarang : CV. Aneka Imu
(http://www.wikipediaindonesia.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar