A. LATAR BELAKANG
Pasca-Reformasi 1998, muncul suatu
optimisme baru di kalangan umat Islam akan tampilnya kembali “Islam-politik”
dalam percaturan politik di Indonesia setelah sekian lama semenjak Demokrasi
Terpimpin Sukarno dan Orde Baru Suharto dibungkam. Berbagai kebijakan
memarjinalkan posisi umat dalam ranah politik. Kalaupun diakomodasi melalui partai
resmi (Orde Baru: PPP), posisinya tidak lebih hanya sebagai pelengkap kekuasaan.
Kontrol yang kuat terhadap partai Islam ini seungguhnya tetap menyisakan
marjinalisasi massal terhadap potensi dan kekuatan politik umat.
Kran kebebasan yang dibuka begitu
leluasa pasca-Reformasi telah membukakan jalan lebar bagi kembalinya umat Islam mengaktualisasikan
potensi politiknya. Berbagai partai yang dengan terang-terangan menyebut diri
sebagai “partai Islam” atau mengambil basis massa kelompok-kelompok Islam
seperti Muhammadiyah (PAN) dan Nahdhatul Ulama (PKB) bermunculan. Fenomena itu
terus berlangsung sampai menjelang Pemilu ke-3 pasca-Reformasi yang digelar
tahun 2009 ini.
Setelah kran itu dibuka bagaimana wajah
politik Islam
saat ini? Apakah tradisi-tradisi politik Islam yang
terepresentasikan pada tahun 1955 terulang kembali, semakin
menguat atau semakin menurun?. Secara dukungan suara, Anis Baswedan dalam disertasinya
menyimpulkan bahwa dukungan suara terhadap partai Islam pada Pemilu 1999 dan
2004 tidak banyak berubah dengan dukungan pada Pemilu 1955. Akumulasi dukungan
terhadap partai-partai Islam tetap tidak mengungguli dukungan terhadap
partai-partai berhaluan sekular.
Namun demikian, secara kualitatif
kemunculan partai-partai Islam pasca-reformasi ini sebagian besar tidak lagi
membawa agenda ideologis yang terang-terangan seperti pada Pemilu 1955. Hanya
sebagian kecil partai Islam seperti Partai Bulan Bintang (PBB) yang masih
‘menjual’ kampanye Masyumi masa lalu untuk ditawarkan kepada pemilih Muslim
masa kini. Pada kenyataannya, sebagian besar pemilih Muslim baru ini sudah
tidak legi merespon isu-isu politik Islam lama. Ini menunjukkan sudah terjadi
pergeseran pemikiran dari pemilih. Partai-partai Islam pun kemudian sebagian
besar mengubah kembali paradigma ‘jualan’ mereka dengan mengadaptasi isu-isu
sezaman seperti masalah kesejahteraan rakyat, pengangguran, sembako murah,
pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan sebagaianya. Tampaknya isu-isu
idoelogis yang sangat laku pada era kampanye Pemilu tahun 1955 telah mulai
dihindari. Selain sudah tidak kontekstual, juga sebagian besar pemilih Muslim sudah tidak
menyenanginya.
Selain faktor isu dalam pemilihan,
perubahan kualitatif partai-partai Islam baru ini terlihat pula dalam sikap atau perilaku
politik mereka. Selain penyebutan asas Islam secara eksplisit di dalam konstitusi
partai-partai Islam dan dukungan riil dari kelompok pemilih Muslim, sikap atau perilaku
dan budaya politik partai-partai Islam hampir tidak dapat dibedakan dengan
partai-partai lain yang tidak secara eksplisit menyebut diri mereka sebagai
partai Islam. Dari sisi eksponennya pun tidak sedikit aktivis partai berhaluan
nasionalis dan sekular seperti Golkar dan PDI yang berasal dari keluarga Muslim
taat (baca: santri).
Kebudayaan merupakan
keseluruhan ide, gagasan, tindakan dan hasil karya yang dimiliki oleh
masyarakat yang diperoleh melaui belajar dan dijadikan pedoman hidup oleh
masyarakat (Koentjaraningrat, 1999:156). Salah satu wujud kebudayaan adalah
sikap atau perilaku atau tindakan (sistem social)
Sikap adalah perasaan
seseorang tentang obyek, aktivitas, peristiwa dan orang lain. Perasaan ini
menjadi konsep yang merepresentasikan suka atau tidak sukanya (positif,
negatif, atau netral) seseorang pada sesuatu. Sikap dapat mengalami perubahan
sebagai akibat dari pengalaman. Tesser (1993) berargumen bahwa faktor bawaan
dapat mempengaruhi sikap tapi secara tidak langsung. Sebagai contoh, bila
seseorang terlahir dengan kecenderungan menjadi ekstrovert, maka sikapnya
terhadap suatu jenis musik akan terpengaruhi. Sikap seseorang juga dapat
berubah akibat bujukan. Hal ini bisa terlihat saat iklan atau kampanye
mempengaruhi seseorang (wikipediaindonesia)
Dengan
banyak bermunculnya partai politik yang mengusung isu-isu agama, kesejahteraan,
kesehatan, pendidikan, dan isu-isu lain seiring dengan perkembangan zaman guna
merebut simpati atau dukungan masyarakat akan menimbulkan keresahan dan
kebimbangan khususnya bagi para santri NU (Nahdlatul Ulama).
B. PERMASALAHAN
Dari latar belakang diatas,
dapat ditarik suatu permasalahan yaitu :
1. Bagaimanakah sikap
atau perilaku politik santri NU (Nahdlatul Ulama)?
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Santri
Tidak bisa dipungkiri bahwa penyebutan
“santri” sebagai suatu unit analisis sosial sangat dipengaruhi oleh publikasi
penelitian Clifford Geertz tentang komunitas Islam di suatu kota yang ia sebut
dengan “Mojokuto.” Publikasi ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
titel Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa dari
judul aslinya The Religion of Java
Sebelumnya, istilah santri ini lebih
populer disematkan kepada para pelajar Muslim yang menempuh pendidikan di
“pesantren”. Di pesantren mereka secara khusus ditempa untuk menjadi ahli-ahli
agama. Saat mereka berhasil menyelesaikan pendidikannya dan mendirikan kembali
pesantren atau mengajarkannya kembali kepada masyarakat luas, sebutan untuk
mereka berubah menjadi “kyai”. Alhasil istilah “santri”
pada mulanya digunakan untuk membedakannya dengan “kyai” di suatu pesantren
atau pusat pengajaran agama tradisional masyarakat Jawa.
Menurut Geertz, ada ciri khusus dari santri
pertama berkenaan dengan doktrin pokok Islam (Al-Quran dan
hadis) dan kedua berkenaan dengan persepsi tentang organisasi sosial
(dalam konteks apa mereka menempatkan diri). Dalam hal pertama, doktrin ajaran
Islam adalah pegangan pokok yang harus mereka jalankan dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Dalam hal kedua,i organisasi sosial mereka persepsikan iman yang membentuk suatu perkauman (Islam). Sebagai individu
Muslim, ia merupakan bagian dari umat Islam di mana pun mereka berada.
Secara lebih singkat dapat diambil
kesimpulan bahwa kelompok “santri” adalah mereka yang menjalankan ajaran-ajaran
dan doktrin-doktrin Islam secara lebih ketat dan taat. Pada Pemilu 1955, secara
kasar dapat dilihat bahwa kelompok santri inilah yang menjadi pendukung setia
partai-partai Islam seperti Masyumi dan NU.
2.
Dasar pemikiran Politik NU
Dasar pemikiran politik NU
terutama dipengaruhi oleh paham keagamaan yang dianutnya, yakni ahlussunnah wal
jamaah. Disamping itu pemikiran politik kalangan ahlussunnah wal jamaah (Sunni)
yang tergabung dalam wadah organisasi NU juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran
al-Mawardi dan al-Ghazali, yang telah dijabarkan dalam teori politik Sunni yang
terdapat lima prinsip yaitu :
1. Prinsip Ketuhanan
Prinsip ketuhanan dalam kehidupan politik merupakan suatu
yang mutlak bagi NU. Dalam bentuk praksisnya, NU tidak membatasi format perwujudan
prinsip ketuhanan tersebut dalam bentuk pemerintahan atau Negara secra khusus.
Bentuk Negara bagi NU, tidak harus berupa kerajaan Islam, atau yang lainnya,
yang penting dalam perjalanan perjalanan Negara haruslah mencerminkan substansi
ajaran Islam. Maksudnya adalah bagaimana nilai-nilai universal dari ajaran
Islam seperti keadilan, kemakmuran, kejujujran, maupun kebebasan dalam
menjalankan ibadah dan ritual keagamaan dapat berjalan dengan baik.
2. Prinsip Musyawarah
Teori politik Sunni yang membahas tentang mekanisme
pemerintahan sangat mengedepankan tentang prinsip musyawarah (al-syura).
Misalnya ketika berbicara mengenai pergantian kepemimpinan, maka yang menjadi
dasar paling utama adalah peran rakyat atau ahl syura, walaupun beberapa teori
dalam teori politik Sunni ada yang mengesahkan penunjukan putera mahkota
(ahl’Ahd)
Dalam Muktamar NU ke 30 di Kediri tahun1999, didefinisikan
tentang prinsip musyawarah sebagai pengambilan keputusan dengan
mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan dalam urusan bersama, baik
secara langsung maupun perwakilan. Berdasarkan definisi tersebut dapat dilihat
bahwa NU memegang prinsip bahwa dalam setiap pengambilan keputusan harus
melibatkan seluruh unsure yang ada dalam masyarakat, baik itu dilakukan secara
langsung maupun perwakilan.
c. Prinsip Keadilan
Rais Am PBNU, DR.KH.M.A. Sahal Mahfudh mendefinisikan
keadilan berarti menegakkan kebenaran dan kejujuran, serta belas kasih dan
solidaritas. Menurut Kiai sahal, keadilan mempunyai mempunyai abstraksi yang
sangat luas, sehingga sering terjadi perbedaan ukuran antara pemimpin dan yang
dipimpin dalam memandang tentang keadilan. Pemimpin berpandanagan
bahwakebijakan yang telah diambil telah memenuhi kaidah keadilan, sedangkan
yang dipimpin menganggap kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya belum adil.
Dalam hal ini mekanisme musyawarah, dialog yang demokratis dan terbuka antara
keduanya merupakan salah satu cara untuk mencari penyelesaian, dengan
berpedoman pada standarisasi keadilan yang telah disepakati dan ditetapkan
Undang-Undang.
d. Prinsip Kebebasan
Prinsip kebebasan bagi NU diartikan sebagai suatu jaminan
bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya dengan cara yang baik,
bertanggung jawab dan perilaku yang mulia (al-akhlaq al-karimah).
e. Prinsip Kesetaraan
NU memiliki pandangan
yang inklusif dan substantive terhadap realitas masyarakat Indonesia yang
plural. Bagi NU, keragaman suku, ras, agama, budaya maupun perbedaan pendapat
dan golongan merupakan suatu keniscayaan. Pluralitas dalam kehidupan di dunia
merupakan rahmat yang harus dihadapi dengan sikap membuka diri, saling
menghormati dan menjalin kerja sama dengan menghilangkan sikap eksklusif.
Prinsip kesetaraan menurut NU adalah suatu pandangan bahwa
setiap orang atau individu mempunyai kedudukan yang sama tanpa adanya
diskriminasi karena kesukuan, ras, agama, jenis kelamin, kedudukan, kelas
social, dan lain-lain (Setiawan, 2007:105)
3. Politik yang
dijalankan NU
Menurut Mustasyar PBNU, K.H.Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya
ada 3 jenis politik dalam pemahaman NU, yakni politik kebangsaan, politik
kerakyatan, dan politik kekuasaan. NU sejak berdiri memang melakukan aktivitas
politik, terutama dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan,
karena NU sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Dalam sejarah perjalanan Indonesia tercatat bahwa NU selalu
memperjuangkan keutuhan NKRI. Selain dilandasi oleh nilai-nilai keislaman,
kebijakan-kebijakan yang diambil NU juga didasari oleh nilai-nilai keIndonesiaan
dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Politik jenis yang kedua yang dijalankan oleh NU yaitu
politik kerakyatan. Politik kerakyatan bagi NU sebenarnya adalah implementasi
dari prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kejelekan)
yang ditujukan pada penguasa untuk membela rakyat. Hal itulah yang kemudian
diambil alih oleh generasi muda NU melalui LSM-LSM, ketika mereka melihat NU
secara structural kurang peduli terhadap permasalahan yang menyangkut rakyat
keci.
NU juga menjalankan politik ketiga, yakni politik kekuasaan
atau yang lazim disebut politik praktis. Politik kekuasaan merupakan jenis
politik yang paling banyak menarik perhatian orang NU. Dalam catatan sejarah,
terlihat bahwa NU pernah mendapatkan kesuksesan dalam pemilu pertama di
Indonesia pada tahun 1955. Pada saat itu, dalam waktu persiapan yang relative
pendek, partai NU yang baru keluar dari Masyumi dapat menduduki peringkat
ketiga setelah PNI dan Masyumi yang sangat siap waktu itu. Sejak saat itu
banyak tokoh NU yang terjun ke dunia politik praktis. Hal ini membawa dampak
negative pada aktivitas penting NU lainnya seperti dalam bidang pendidikan,
ekonomi, social, dan dakwah.
4. Sikap Politik Kaum Santri
Perilaku politik atau
(Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu
atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang
individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya
guna melakukan perilaku politik.
Pada masa kolonial, kelompok santri
berperan sebagai trigger unntuk menggalang kekuatan massa menentang
penguasaan kolonial. Berbagai pemberontakan, terutama sepanjang abad ke-19,
yang terjadi di berbagai daerah konsolidasi kekuatannya dilakukan oleh kelompok
santri. Dalam hal ini, peran tokoh pemimpin kelompok ini yang sering disebut
“kyai” sangat sentral. Budaya ketaatan penuh pada kyai yang dibangun di
pesantren-pesantren atau yang dilembagakan dalam tarekat-tarekat sufi
memberikan jalan mulus bagi peran kepemimpinan kyai dalam kelompok ini.
Beberapa pemberontakan seperti yang terjadi di Banten tahun 1881, Perang Paderi
di Sumatera Barat, Perang Diponegoro tahun 1825-1830, dan sebagainya adalah
perang-perang yang mencatat peran penting kelompok ini.
Pada masa Kebangkitan Nasional paruh
pertama abad ke-20 kelompok ini bertransformasi menjadi organisasi-organisasi
keagamaan. Sebagian masih melanggengkan pengaruh dan kepemimpinan kyai seperti
yang terlihat dalam organisasi Nahdhatul Ulama. Sebagian lain kepemimpinannya
mulai mencair pada model kepemimpinan rasional. Tokoh tercipta karena
peran-peran startegisnya bagi pergerakan, bukan karena legitimasi
tradisionalnya sebagai kiai. Model kedua ini terlihat jelas pada Muhammadiyah.
Para pengamat kemudian mendikotomi kedua varian ini sebagai kelompok modernis
(Muhammadiyah) dan tradisional (NU).
Saat pembentukan PPKI dan BPUPKI
sebagai cikal bakal berdirinya Republik Indonesia, representasi kaum santri
yang mewakili semua kalangan, baik kelompok modernis maupun tradisionalis,
terlihat cukup dominan di samping kelompok-kelompok lain yang sering disebut
sebagai kaum nasionalis atau “kebangsaan”. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945 menjadi tonggak arah dan orientasi baru kelompok santri. Kali ini
mereka ikut menjadi penentu perjelanan politik bangsa ini.
Perdebatan-perdebatan di Konstituante menjadi monumen sejarah yang mengabadikan
peran penting kaum santri dalam merancang bangsa ini ke depan.
Walaupun peran kelompok santri ini
cukup penting di dalam perumusan format kenegaraan Indonesia pada masa awal
kemerdekaan, posisi marginal masih tetap dirasakan kelompok ini. Pasalnya, saat
berbicara masalah politik pemerintahan, sangat sedikit kalangan santri yang
menguasai penyelenggaraan birokrasi model Barat. Kebutuhan akan dukungan kelas
menengah teknokrat bagi terselenggaranya berbagai program dan target pemerintah
membuat posisi kelompok santri semakin menciut. Kelompok santri yang sebagian
besar berlatar pendidikan keagamaan tradisional (baca: pesantren) tidak bisa
berbuat apa-apa ketika ditantang harus menyelenggarakan pemerintahan secara
profesional. Inilah yang menjadi penyebab utama posisi politik kaum santri
kembali termarginalkan, padahal sebelumnya secara politik mereka sudah
memberikan saham besar bagi berdirinya negara ini.
.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
Koentaraningrat. 2007. Sejarah
Teori Antropologi II. Jakarta : UI
Press.
Setiawan Zudi. 2007. Nasionalisme
NU. Semarang : CV. Aneka Imu
(http://www.wikipediaindonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar