Carving art is one
element of culture. This art is owned by every province in Indonesia, one of
them is Central Java. Some of area that have carving potential are Semarang,
Klaten, Sukoharjo, Kudus, Rembang, Blora, Sragen, and Jepara. Jepara’s carving
art is the most popular carving art of others because it has good quality and
special characteristic.Jepara is the centre of carving art in Central Java.
Spread pattern of this art is dot form. This pattern is caused by development
of knowledge and technology about carving, transportation tools, and natural
resources which easy to get.
Kata Kunci : Art, Carving, Culture.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara yang majemuk, yang memiliki beraneka
ragam bahasa, suku bangsa, agama, ras dan budaya. Kebudayaan daerah di seluruh
wilayah Indonesia merupakan cikal bakal lahirnya kebudayaan nasional.
Keanekaragaman kebudayaan daerah akan memperkaya khasanah
budaya Indonesia, untuk
mengembangkan dan mengangkat citra bangsa Indonesia. Kebudayaan merupakan
keseluruhan system gagasan, tindakan, hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaranigrat, 1990 : 180). Salah satu unsur kebudayaan adalah kesenian.
Dipandang dari sudut cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan
keindahan itu dinikmati, maka ada dua lapangan besar, yaitu 1) seni rupa, atau
kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata, dan 2) seni suara, atau
kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga. Dalam lapangan seni rupa
ada seni patung, seni relief (termasuk seni ukir), seni lukis serta gambar, dan
seni rias. Seni suara ada seni vocal, seni instrumental dan seni sastra. Dalam
hal ini, yang akan kita fokuskan adalah seni ukir. Seni Ukir merupakan gubahan dari
bentuk-bentuk visual yang dalam
pengolahannya mempunyai sifat kruwikan (Jawa) dengan susunan
yang harmonis, sehingga memikiki nilai estetis. Seni ukir
diwujudkan melalui bahan kayu, logam,
gading , batu
dan bahan-bahan lain yang memungkinkan untuk dikerjakan. Adapun bentuk-bentuk gubahan tersebut merupakan stilisasi dari bentuk alam yang meliputi tumbuh-tumbuhan, binatang, awan, air, manusia, dsb. Kerajinan Ukir adalah barang-barang ukiran atau hiasan
yang dihasilkan oleh seseorang yang dalam perwujudannya
memerlukan ketekunan, keterampilan, dan perasaan seni dengan
cara di toreh
/ dipahat di atas kayu, batu,
logam, gading, dsb. Sedangkan yang
dimaksud dengan kerajinan ukir kayu adalah jenis kerajinan yang menggunakan teknik ukir pada bahan kayu
(Wikipedia).
Kesenian
ukir kayu sebagai salah satu kebudayaan daerah yang ada di Jawa Tengah harus
mampu menjadi salah satu bagian kebudayan nasional. Hal ini di karenakan ukir
kayu sebagai kesenian daerah memiliki
fungsi ekonomi dan fungsi social bagi masyarakat. Sebagai fungsi ekonomi, kita
dapat melihatnya pada kerajinan ukir di Jepara. Jepara yang terkenal sebagai
kota ukir, baik ditingkat nasional maupun internasional, mampu tumbuh menjadi
kota industri dan mempunyai pendapatan yang besar dari kerajinan ukirnya yang
dapat mendorong ekonomi masyarakat. Begitu juga dengan fungsi sosialnya. Kesenian ukir di Jawa tengah ini, dapat dikaji melalui pendekatan pola
keruangan (spatial pattern analysis), dimana kita dapat mengetahui bagaimana karakteristik
kesenian ukir di Jawa Tengah dan juga dapat mengetahui bagaimana pola persebaran kesenian ukir di Jawa Tengah ?
PEMBAHASANA. Karakteristik Ukiran
Seni ukir atau ukiran merupakan gambar hiasan dengan bagian-bagian
cekung (kruwikan) dan bagian-bagian cembung (buledan) yang menyusun suatu
gambar yang indah. Pengertian ini berkembang hingga dikenal sebagai seni ukir
yang merupakan seni membentuk gambar pada kayu, batu, atau bahan-bahan lain.
Bangsa Indonesia mulai mengenal ukir sejak zaman batu muda (Neolitik), yakni
sekitar tahun 1500 SM. Pada zaman itu nenek moyang bangsa Indonesia telah
membuat ukiran pada kapak batu, tempaan tanah liat atau bahan lain yang
ditemuinya. Motif dan pengerjaan ukiran pada zaman itu masih sangat sederhana.
Umumnya bermotif geometris yang berupa garis, titik, dan lengkungan, dengan
bahan tanah liat, batu, kayu, bambu, kulit, dan tanduk hewan. Pada zaman yang
lebih dikenal sebagai zaman perunggu, yaitu berkisar tahun 500 hingga 300 SM.
Bahan untuk membuat ukiran telah mengalami perkembangan yaitu menggunakan bahan
perunggu, emas, perak dan lain sebagainya.Penggunaan bahan baru seperti itu
merupakan penemuan baru.
Dengan penemuan
baru dimaksudkan penemuan cara kerja, alat, atau prinsip-prinsip baru oleh
seseorang individu yang kemudain diterima atau dipelajari oleh anggota lain
dalam masyarakat, dan selanjutnya menjadi milik masyarakat. Secara konseptual
istilah penemuan baru menurut Murdock (1969 : 117) dibedakan dalam discovery,
invention, dan tentation.
Dalam pembuatan ukirannya
adalah menggunakan teknologi cor. Motif-motif yang di gunakan pada masa zaman
perunggu adalah motif meander, tumpal, pilin berganda, topeng, serta binatang
maupun manusia. Motif meander ditemukan pada nekara perunggu dari Gunung merapi
dekat Bima. Motif tumpal ditemukan pada sebuah buyung perunggu dari kerinci
Sumatera Barat, dan pada pinggiran sebuah nekara (moko dari Alor, NTT. Motif
pilin berganda ditemukan pada nekara perunggu dari Jawa Barat dan pada bejana
perunggu dari kerinci, Sumatera. Motif topeng ditemukan pada leher kendi dari
Sumba. Nusa Tenggara, dan pada kapak perunggu dari danau Sentani, Irian Jaya.
Motif ini menggambarkan muka dan mata orang yang memberi kekuatan magis yang
dapat menangkis kejahatan. Motif binatang dan manusia ditemukan pada nekara
dari Sangean. Setelah agama Hindu, Budha, Islam masuk ke Indonesia, seni ukir
mengalami perkembangan yang sangat pesat, dalam bentuk desain produksi, dan
motif. Ukiran banyak ditemukan pada badan-badan candi dan prasasti-prasasti
yang di buat orang pada masa itu untuk memperingati para raja-raja. Bentuk
ukiran juga ditemukan pada senjata-senjata, seperti keris dan tombak, batu
nisan, masjid, keraton, alat-alat musik, termasuk gamelan dan wayang. Motif
ukiran, selain menggambarkan bentuk, kadang-kadang berisi tentang kisah para
dewa, mitos kepahlawanan, dll. Bukti-bukti sejarah peninggalan ukiran pada
periode tersebut dapat dilihat pada relief candi Penataran di Blitar, candi
Prambanan dan Mendut di Jawa Tengah. Saat sekarang ukir kayu dan logam
mengalami perkembangan pesat. Dan fungsinyapun sudah bergeser dari hal-hal yang
berbau magis berubah menjadi hanya sebagai alat penghias saja. Motif-motif pada
ukiran kayu meliputi motif Pajajaran, Majapahit, Mataram, Pekalongan, Bali,
Jepara, Madura, Cirebon, Surakarta, Yogyakarta, dan berbagai macam motif yang
berasal dari luar Jawa.
Motif ukiran tradisional yang ada di Jawa sangat beraneka ragam coraknya
sehingga untuk menganal satu persatu motif sangat sulit apabila kita tidak
mengetahui pola dasarnya. Untuk itu pertama-tama yang perlu diketahui adalah
corak corak perdaerah yaitu nama, bentuk dan ciri-ciri motif ukiran tersebut.
Pada umumnya motif motif ukiran yang ada dijawa dan bali selalu menggunakan
tehnik stilasi dari timbuhan-tumbuhan, binatang bahkan kadang -kadang juga
manusia.
Motif Pajajaran
Ciri – Ciri Umum
|
Semua bentuk
ukiran daun mulai dari daun pokok , dunn trubus , daun patran bunga buah dan
sebagainya berbentuk cembung (bulat)
|
Cir – Ciri
Khusus
|
|
Motif Majapahit
Ciri – Ciri Umum
|
Semua bentuk
ukiran daun, bunga dan buah berbentuk cembung dan cekung (Campuran).
|
Cir – Ciri
Khusus
|
|
Motif Bali
Ciri – Ciri Umum
|
Semua bentuk
ukiran daun, bunga dan buah berbentuk cembung dan cekung (campuran).
|
Cir – Ciri
Khusus
|
|
Motif Mataram
Ciri – Ciri Umum
|
Semua bentuk
ukiran daun baik daun pokok maupu daun yang kecil – kecil berbentuk cekung (
Krawingan ). Bentuk ukiran daun motif ini berbentuk patran. Pada bagian ujung
daun ada yang mempunyai ikal dan ada pula yang tidak berikal. Susunan daun
motif ini biasanya bergerombol hingga menyerupai daun alam.
|
Cir – Ciri
Khusus
|
|
Motif Jepara
Ciri – Ciri Umum
|
Bentuk bentuk
ukiran daun pada motif ini bentuk segitiga dan miring.
|
Cir – Ciri
Khusus
|
|
Motif Cirebon
Ciri – Ciri Umum
|
Bentuk ukiran
daun motif ini berbentuk cembung dan cekung (campuran). corak motif ukiran
ini ada yang berbentuk karang ada pula yang berbentuk awan , menyerupai
ukiran tiongkok . Ukiran corak ini kurang begitu dikenal , karena ukiran ini
kebanyakan hanya dipakai untuk hiasan bangunan rumah saja.
|
Cir – Ciri
Khusus
|
|
Motif Pekalongan
Ciri – Ciri Umum
|
Bentuk ukiran
motif pekalongan ini berbentuk cembung dan cekung (campuran) .
|
Cir – Ciri
Khusus
|
|
Motif Madura
Ciri – Ciri Umum
|
Pada garis
besarnya bentuk ukiran daun madura ini melengkung dan terdapat ikal pada
ujung daunnya . Pecahan cawen pada daun pokok menyerupai gergaji.
|
Cir – Ciri
Khusus
|
|
Motif Yogyakarta
Ciri – Ciri Umum
|
Motif Yogyakarta
terkenal dengan nama ukiran perak yogya, bentuk ini mengambil contoh dari
daun pakis .
|
Cir – Ciri
Khusus
|
|
Motif Surakarta
Ciri – Ciri Umum
|
Bentuk Ukiran
daun motif Surakarta diambil dari relung daun pakis yang menjalar bebas
berirama. Daun-daunnya berbentuk cembung dan cekung (campuran).
|
Cir – Ciri
Khusus
|
|
Motif Semarangan
Ciri – Ciri Umum
|
Motif ini
mempunyai daun pokok relung dengan bentuk ukiran daun campuran cembung dan
cekung.
|
Cir – Ciri
Khusus
|
|
Sejarah kesenian ukir Jepara
Asal nama Jepara berasal dari perkataan Ujung Para, Ujung Mara dan
Jumpara yang kemudian menjadi Jepara, yang berarti sebuah tempat pemukiman para
pedagang yang berniaga ke berbagai daerah. Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti
Tang (618-906 M)” mencatat bahwa pada tahun 674 M seorang musafir Tionghoa
bernama I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang juga
disebut Jawa atau Japa dan
diyakini berlokasi di Keling, kawasan timur Jepara sekarang ini, serta dipimpin
oleh seorang raja wanita bernama Ratu Shima yang dikenal sangat tegas.Menurut
seorang penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya “Suma Oriental”,
Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan yang
kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur dan
berada dibawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur digantikan oleh putranya
yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus
mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga. Pati Unus dikenal sangat
gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang menjadi mata rantai
perdagangan nusantara. Setelah Pati Unus wafat digantikan oleh ipar Faletehan
/Fatahillah yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada tahun 1536 oleh
penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan
kepada anak dan menantunya yaitu Ratu Retno Kencono dan Pangeran Hadiri suami.
Namun setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam Ekspedisi Militer di Panarukan
Jawa Timur pada tahun 1546, timbulnya geger perebutan tahta kerajaan Demak yang
berakhir dengan tewasnya Pangeran Hadiri oleh Aryo Penangsang pada tahun 1549. Kematian
orang-orang yang dikasihi membuat Ratu Retno Kencono sangat berduka dan
meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja. Setelah
terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono bersedia turun
dari pertapaan dan dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar NIMAS RATU
KALINYAMAT. Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara
berkembang pesat menjadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa, yang melayani
eksport import. Disamping itu juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah
dirintis sejak masa Kerajaan Demak.
Sebagai seorang penguasa Jepara, yang gemah ripah loh jinawi karena
keberadaan Jepara kala itu sebagai Bandar Niaga yang ramai, Ratu Kalinyamat
dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan
pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada tahun 1551 dan
tahun 1574. Adalah tidak berlebihan jika orang Portugis saat itu menyebut sang
Ratu sebagai “RAINHA DE JEPARA”SENORA DE RICA”, yang artinya Raja Jepara
seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya. Serangan sang Ratu yang gagah
berani ini melibatkan hampir 40 buah kapal yang berisikan lebih kurang 5.000
orang prajurit. Namun serangan ini gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini
melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di
Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan
kepungan tentara Kalinyamat.
Namun semangat Patriotisme sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar
menghadapi penjajah bangsa Portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam puncak
kejayaan dan diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia. Dua puluh empat tahun
kemudian atau tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada
militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan
300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang
prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh panglima
terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai “QUILIMO”. Walaupun
akhirnya perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan tentara Kalinyamat
juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun telah membuat Portugis
takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara ini, terbukti dengan bebasnya
Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu.
Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan
Portugis, sampai sekarang masih terdapat di Malaka komplek kuburan yang di
sebut sebagai Makam Tentara Jawa. Selain itu tokoh Ratu Kalinyamat ini juga
sangat berjasa dalam membudayakan SENI UKIR yang sekarang ini jadi andalan
utama ekonomi Jepara yaitu perpaduan seni ukir Majapahit dengan seni ukir Patih
Badarduwung yang berasal dari Negeri Cina.
Kabupaten Jepara, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di barat dan utara, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus di timur, serta Kabupaten Demak di selatan. Wilayah Kabupaten
Jepara juga meliputi Kepulauan Karimunjawa,
yang berada di Laut Jawa. Kabupaten Jepara terletak di pantura timur Jawa
Tengah, dimana bagian barat dan utara dibatasi oleh laut. Bagian timur wilayah
kabupaten ini merupakan daerah pegunungan.
Lokasi sentra produksi kerajinan ukir meliputi daerah-daerah : Pecangaan, Kedung, Tahunan, Mlonggo, Jepara. Desa yang memproduksi meliputi : Pulau Darat, Kerso, Langon, Krapyak, Mantingan, Kawak, Mambak, Wonorejo, Senenan, Petekeyan, Bulungan, Pingko, Tegalsambi, Sukodono.
Lokasi sentra produksi kerajinan ukir meliputi daerah-daerah : Pecangaan, Kedung, Tahunan, Mlonggo, Jepara. Desa yang memproduksi meliputi : Pulau Darat, Kerso, Langon, Krapyak, Mantingan, Kawak, Mambak, Wonorejo, Senenan, Petekeyan, Bulungan, Pingko, Tegalsambi, Sukodono.
B. Sebaran dan
Sentra Industri Kayu
di Jawa Tengah
Furniture dari Jawa Tengah (furniture Central Java)
sudah terkenal sejak lama baik karena kualitas, seni maupun harganya yang
kompetitif. Banyak konsumen baik dalam maupun luar negeri yang memesan
furniture antik, walaupun dibuat baru atau repro furniture, namun diproses
seolah-olah merupakan produk kuno (antik).
Ada pula produk
furniture yang dibuat dari bonggol (tunggak) pohon yang dengan sentuhan-sentuhan
seni berubah menjadi produk furniture yang sangat menarik dan memiliki nilai
jual tinggi. Corak dan gaya konvensional dan modern juga berkembang pesat
bersamaan dengan meningkatnya permintaan untuk kebutuhan perkantoran
dan hotel yang pembangunannya tumbuh
pesat dalam beberapa tahun terakhir ini, baik di dalam maupun luar negeri. Produksi
furniture Jawa Tengah berkembang dan tumbuh pesat seiring dengan permintaan
yang meningkat dari dalam maupun luar negeri, baik desain, konstruksi, corak maupun
pewarnaannya. Sebagian besar bahan utamanya terbuat dari kayu, dan saat ini
makin bervariasi karena bahan bakunya tidak lagi semata-mata kayu jati saja,
namun mulai banyak menggunakan kayu mahoni dan jenis lain, serta bahan logam.
Sentra-sentra
produksi furniture di Jawa Tengah sendiri tersebar di Kota Semarang, Kabupaten
Jepara, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten
Rembang, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Sragen. Pendekatan
keruangan merupakan suatu cara pandang atau kerangka analisis yang
menekankan eksistensi ruang sebagai penekanan. Eksisitensi ruang dalam
perspektif geografi dapat dipandang dari struktur (spatial structure),
pola (spatial pattern), dan proses (spatial processess) (Yunus,
1997). Pola persebaran kesenian ukir di
Jawa Tengah adalah kenampakan titik (point features). Dimana
masing-masing titik tadi memiliki karakteristik dan kekhasan masing-masing.
Industri furniture Jawa Tengah khususnya produk furniture
yang berasal dari Jepara memiliki keunikan-keunikan yang mengakar dari budaya
tradisional yang sekaligus menjadi daya jual ke pasar ekspor, yaitu :
(1) Motif design
dengan karakteristik ukiran/patahan,
(2) Kayu jati
sebagai bahan baku utamanya.
Selain Jepara
sebagai sentra industri furniture di Propinsi Jawa Tengah dalam skala yang
lebih kecil juga adalah di Sukoharjo, dan Semarang. Ketiga sentra industri
furniture ini cenderung berdiri sendiri-sendiri atau kurang memiliki
keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Menurut Gustami (1991:46) ada beberapa permasalahan umum
pengembangan industri furniture kayu di Jepara dan Sukoharjo adalah sebagai
berikut :
1) Permasalahan
Sumber Daya Manusia
Kurang
memadainya wawasan dan visi kewirausahaan dari para pemilik dan Top
management di industri-industri furniture kayu, akibat rendahnya tingkat
pendidikan secara umum.
Lingkungan
Sosial masyarakat lebih mengutamakan proses belajar anak-anaknya secara
informal, misalnya dengan merantau ke daerah lain.
Terbatasnya
jumlah sekolah lanjutan dan tinggi di sekitar Jepara, bahkan akses terhadap
media belajar seperti toko buku pun sangat jarang.
2) Permasalahan
Sosial Budaya dan Interaksi Sosial
Pada lima
tahun terakhir resistensi masyarakat Jepara terhadap pengusaha luar negeri atau
pengusaha lain yang memiliki modal lebih besar telah muncul ke permukaan dalam
bentuk kekerasan atau hal lainnya. Padahal kenyataannya, ketergantungan
pengusaha Jepara pada (khususnya) buyer asing sangat tinggi sehingga
apabila
pengusaha-pengusaha asing ini benar-benar merelokasikan bisnisnya ke luar
Jepara, pengusaha Jepara akan mengalami kesulitan untuk memasarkan produknya ke
pasar luar negeri.
Dengan tingkat
pendidikan yang tidak terlalu tinggi, budaya kerja para pengrajin Jepara sering
kali dianggap rendah.
Struktur
produsen furniture kayu di Jepara yang kebanyakan adalah industri kecil dan
menengah yang pengetahuan tentang perlindungan hukum atas desain industrinya
rendah.
Modus operandi
lain dalam pencontekan desain adalah dengan membeli furniture-furniture yang
hendak diantarkan dari pengerajin ke kolektor.
Permasalahan
Situasi Sosial Politik dan Perdagangan Nasional dan Internasional
Citra politik
nasional Negara Indonesia dimata internasional yang tidak mendukung
Pandangan
internasional terhadap stabilitas keamanan nasional, termasuk dalam hal
keamanan untuk berusaha yang hancur semenjak tahun 1997
Lemahnya citra
jajaran pemerintahan dan penegak hukum di mata pelaku usaha.
3) Permasalahan
Jaminan dan Kepastian Hukum
Tinggi dan
beragamnya pungutan resmi maupun liar yang diberlakukan kepada para pelaku
usaha
Masih belum
jelasnya aspek penegakkan hukum oleh jajaran penegak hukum atas peniruan desain
produk industri.
4) Permasalahan
Permodalan
Kendala
finansial menyebabkan pertumbuhan usaha bagi industri kecil dan rumahan
terhambat oleh ketersediaan modal baik untuk investasi maupun modal kerja.
Persoalan pertama di bidang keuangan adalah ketidak sesuaian antar penyediaan
dana dengan kebutuhan industri kecil dan rumahan. Dukungan dana yang diberikan
pemerintah dan atau perbankan tidak menggambarkan kondisi nyata aktivitas
bisnis industri kecil
dan rumahan.
Oleh karena tidak banyaknya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang memanfaatkan
sumbersumber dana formal. Persoalan kedua adalah rendahnya kemampuan penilaian
terhadap industri kecil dan rumahan, ini akibat dari kurangnya pendekatan
sistematis yang dilakukan oleh lembaga keuangan dalam menilai pembiayaan
industri kecil
dan rumahan. Akibatnya, sebagian besar industri kecil dan rumahan digolongkan
sebagai kelompok usaha yang tidak layak untuk mendapatkan pendanaan dari
lembaga keuangan formal. Persoalan ketiga adalah kecenderungan memberikan
resiko yang berlebihan kepada industri kecil dan rumahan. Struktur pembiayan
dan pasar yang dianggap tidak menentu menempatkan industri kecil dan rumahan
pada posisi yang beresiko tinggi dari segi pembiayaan. Persoalan keempat adalah
tingginya biaya transaksi akibat dari terbatasnya penguasaan teknis pembiayaan
industri kecil dan rumahan. Prosedur penilaian kelayakan kredit sangat rumit
sehingga memerlukan waktu dan tenaga yang besar untuk mendapatkan kredit yang
tidak besar. Persoalan kelima adalah tidak efektifnya mekanisme monitoring dan
pengembalian pinjaman. Lembaga keuangan tidak memiliki mekanisme yang tepat
(sederhana) untuk pemantauan dan pengumpulaan
pengembalian
kredit. Persoalan keenam adalah rendahnya aksesibilitas industri kecil dan
rumahan terhadap sumber pendanaan formal. Penyebaran industri kecil dan rumahan
yang luas tidak diikuti oleh jaringan lembaga keuangan yang memadai sehingga
informasi mengenai ketersediaan sumber-sumber keuangan juga terbatas.
Termasuk di sini
adalah terbatasnyaa modal ventura bagi industri kecil dan rumahan
Persoalan
ketujuh adalah tingginya bunga bank bagi pengadaan peralatan dan fasilitas
usaha. Kondisi ini menyulitkan investasi industri kecil dan rumahan dalam
perbaikan teknologi, pengembangan produk dan peningkatan skala usaha.
SIMPULAN
Indonesia adalah Negara yang
majemuk, yang memiliki beraneka ragam bahasa, suku bangsa, agama, ras dan
budaya. Salah satu unsur kebudayaan tersebut adalah kesenian ukir. Kesenian
ukir di Jawa Tengah terdapat di kota Semarang, Klaten, Sukoharjo, Kudus,
Rembang, Blora, sragen dan Jepara. Dengan Jepara sebagai pusatnya, seni ukir
ini mengikuti pola persebaran yang membentuk titik.
Dimana titik-titik tersebut memiliki
karakteristik dan keunikan masing-
masing. Permasalahan yang terjadi di
Jepara dan Sukoharjo meliputi Permasalahan Sumber
Daya Manusia, Permasalahan Sosial Budaya dan Interaksi Sosial, Permasalahan
Jaminan dan Kepastian Hukum, dan Permasalahan Permodalan.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Propinsi Jawa Tengah. Semarang, 2005.
Gustami. 1991. Penyebaran
Tenaga Kerja Industri Furniture Kayu di Kabupaten
Jepara. Universitas Islam Yogyakarta. Yogyakarta, Desember 1991
Joyomartono,
Mulyono. 1991. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam
Pembangunan. Semarang :IKIP Semarang Press
Koentjaraningrat.
1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
Yunus, Hadi sabari.
2008. Konsep dan Pendekatan Geografi “Mamaknai Hakekat
Keilmuannya”. Makalah dipresentasikan dalam seminar dan
Sarasehan :
Substansi dan
Kompetensi Geografi tahun 2008, di
Fakultas Geografi UGM
Yogyakarta, 18-
19 januari 2008.
Http://
www.indo-news.com/Subsribe.html